Tulisan dibawah ini diikutsertakan sebagai salah satu syarat awal seleksi tahap pertama mengikuti Debate Competition. Kompetisi ini adalah salah satu program dari Senat Mahasiswa Sampoerna School of Education (SEMA SSE) yang kini bermetamorfosis menjadi USBI (Universitast Siswa Bangsa Internasional). Debate Competition ini merupakan peringatan hari Pendidikan Nasional tahun 2011 (Kalau tidak salah, mohon dikoreksi jika salah). Pada saat itu (Mei 2011), Devi, Susi, dan saya dipilih sebagai perwakilan Jurusan Math 2010 untuk mengikuti kompetisi ini. Esai ini berisi mengenai Pendidikan Profesi Guru, kami bertiga mendapat kesempatan untuk mengulas dan membuat tulisan yang kontra terhadap program Pendidikan Profesi Guru (PPG). Tidak sia-sia kami bergadang, berpikir, dan berdiskusi semalaman, akhirnya kami menghasilkan tulisan ini, selamat membaca, semoga bermanfaat :D
PPG bukanlah Solusi yang Tepat
Peraturan
Pemerintah nomor 16 tahun 2007 menyatakan bahwa “sosok utuh seorang lulusan
progam pendidikan profesi guru secara generik
tertuang dalam standar kompetensi guru”, dimana kompetensi ini
dijabarkan dalam empat kategori yaitu kompetensi pedagogik, kepribadian,
sosial, dan profesional. Seorang guru dapat dikatakan profesional ketika guru
tidak hanya menguasai bidang studi, tetapi juga mengacu pada integrasi
kemampuuan memahami peserta didik, merancang pembelajaran, melaksanakan proses
pembelajaran yang mendididk, dan mengevaluasi proses dan hasil pembelajaran (Departemen
Pendidikan Nasional, 2008).
Melihat kualifikasi guru di
Indonesia yang belum memenuhi kriteria untuk dikatakan sebagai guru profesional
seperti apa yang dijabarkan diatas, pemerintah sebagai pihak yang berkewajiban
membenahi pendidikan di Indonesia tentu tidak bisa tinggal diam. Menciptakan guru-guru profesional yang ideal
dalam dunia pendidikan diupayakan pemerintah dengan mengambil tindakan guna
meningkatkan kualifikasi guru-guru di Indonesia. Program Pendidikan Profesi
Guru atau yang disingkat PPG lah yang dicanangkan oleh pemerintah untuk
mengatasi problematika yang ada, baik dalam meningkatkan kualifikasi guru-guru
yang sudah ada (senior) maupun menciptakan guru-guru generasi baru yang
berkualitas.
Pendidikan
profesi guru dalam naskah akademik yang tertera dalam panduan penyelenggara dan
peraturan pemerintah tentang pendidikan profesi guru memberikan kategori bahwa
pendidikan profesi ini diberikan bagi
lulusan S-1 kependidikan dan S-1/D-IV non kependidikan. Melalui program ini
diharapkan para peserta, baik para guru generasi baru maupun mereka yang telah
senior, dapat belajar dan mengembangkan diri menjadi guru profesional yang selama
ini dicita-citakan, ditandai dengan sertifikat pendidik yang diperoleh diakhir
program PPG sesuai dengan UU No.14/2005
Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2).
Program
PPG sebagai solusi yang dipilih pemerintah sebagai upaya meningkatkan kualitas
guru-guru profesional Indonesia seperti yang telah dijelaskan sebelumnya dirasa
bukanlah solusi yang tepat untuk menyelesaikan permasalahan. Keputusan tersebut
mengindikasikan bahwa pemerintah mempunyai keraguan besar akan kualitas
guru-guru yang telah berkutat di sekolah keguruan selama empat tahun. Para
lulusan S1 kependidikan tersebut baru dapat dikatakan profesional setelah
mengikuti program PPG selama satu tahun, padahal idealnya selama empat tahun
mereka telah dipersiapkan untuk menjadi guru-guru profesional dengan konten
pedagogik yang diberikan.
Jika
pemerintah menganggap bahwa pendidikan guru selama empat tahun saat ini belum
dapat menghasilkan guru-guru profesional, lalu kenapa solusi yang diberikan
berupa penambahan masa pendidikan yang kembali menuntut pengorbanan biaya dan
waktu para calon guru. Seharusnya peningkatan kualitas pendidikan calon guru
selama empat tahun itulah yang patut menjadi sorotan pemerintah untuk
diperbaiki, sehingga mampu menghasilkan guru-guru profesional. Pemerintah dapat
menerapkan materi yang diberikan pada program PPG kedalam program S1
Pendidikan. Dengan demikian, guru-guru lulusan Universitas Pendidikan ataupun
STKIP nantinya telah memenuhi kualitas guru profesional seperti yang diharapkan
pemerintah hanya dengan menempuh empat tahun masa pendidikan.
Disisi
lain upaya peningkatan kualitas profesionalitas para guru senior sebagaimana
termaktub dalam Undang-Undang No. 14 Tahun 2005 mengenai Guru dan Dosen, juga
harus tetap dilaksanakan. Seperti diketahui bersama bahwa penerapan program PPG
tersebut juga diterapkan pada guru-guru senior tersebut. Akan tetapi, upaya
tersebut dirasa tidak efektif. Hal ini dikarenakan terdapat beberapa kasus yang
menunjukkan kecenderungan tujuan para guru mengikuti program PPG hanya untuk
mendapatkan gelar profesional. Mereka hanya berfokus pada bagaimana cara
mendapatkan sertifikat profesi guna memperoleh penghasilan yang lebih besar
dengan mengabaikan makna dan tujuan dari pelatihan atau pembinaan profesi guru
tersebut. Padahal tujuan dari penerapan program PPG bagi guru-guru senior
tersebut adalah untuk mengasah kemampuan pedagogik mereka sesuai dengan
perkembangan zaman, sehingga benar-benar menciptakan profesi guru yang sangat
dihormati dan memiliki jiwa mengajar yang berlandaskan tujuan dari pembukaan
undang-undang dasar 1945 yaitu untuk mencerdaskan kehidupan bangsa.
Solusi
untuk meningkatkan kuallifikasi para guru senior adalah dengan menghapuskan
program sertifikasi yang hanya dijadikan tolak ukur profesionalitas seorang
guru. Pemerintah hendaknya memberikan program pelatihan kepada para guru tanpa
memberikan sertifikat sebagai tanda profesionalitas. Pemberian gelar profesional
dapat diberikan berdasarkan pada kualifikasi tingkat prestasi yang dicapai
masing-masing guru. Kualifikasi tingkat prestasi yang dicapai masing-masing
guru tersebut dapat diketahui melalui proses
monitoring yang dilakukan oleh pemerintah.
Selain
itu, permasalahan lain yang juga muncul dengan solusi yang diberikan pemerintah
untuk meningkatkan kualifikasi guru Indonesia—PPG—adalah kesetaraan
profesionalitas guru, seperti yang telah dikemukan sebelumnya bahwa program PPG
terbuka untuk umum yakni baik para sarjana S-1 kependidikan maupun S-1/D-IV non
kependidikan, yang memiliki bakat dan minat menjadi guru diperbolehkan untuk
mengikuti program PPG untuk mendapatkan sebuah gelar yang menyatakan bahwa
mereka adalah guru profesional. Sistem inilah yang menunjukan adanya pandangan
mengenai kesetaraan tingkat profesionalitas guru. Mereka semua dianggap profesional
setelah mengikuti program PPG terlepas dari apapun latarbelakang pendidikan S1
mereka.
Justru
hal itulah yang semestinya dipertanyakan apakah program PPG yang hanya satu
tahun tersebut dapat menjamin profesionalitas mereka yang bukan berasal dari S1
Pendidikan. Jika dibandingkan dengan mereka yang telah memperoleh pendidikan
untuk menjadi guru selama empat tahun, masih dapatkah dikatakan bahwa tingkat
profesionalitas mereka dapat disetarakan oleh sertifikat program PPG. Merujuk
pada kondisi tersebut, kembali terbesit pertanyaan yaitu mengenai eksistensi
sekolah keguruan dengan peranan yang dimiliknya. Untuk apa didirikannya sekolah
keguruan yang khusus mempersiapkan guru-guru generasi baru kalau pada akhirnya
semua jurusan bidang ilmu dapat menjadi guru hanya dengan mengikuti program PPG
sebagai tolak ukur seseorang untuk menjadi guru profesional.
Permasalahan
diatas menunjukkan bahwa program PPG bukanlah solusi yang tepat dalam
meningkatkan kualitas pendidikan guru. Jelas penyetaraan tersebut merupakan
ketidakadilan bagi mereka yang memang berasal dari S-1 kependidikan. Program
PPG tidak dapat dijadikan tolak ukur profesionalitas guru terlebih dengan
kebijakannya yang mengizinkan S-1 non kependidikan untuk ikut dalam program
tersebut. Hal ini terkesan memberikan celah bagi orang lain diluar pendidikan
untuk masuk dalam dunia pendidikan bahkan menjadi guru profesional dengan
mudahnya, yaitu hanya dengan mengikuti program PPG selama satu tahun. Padahal
untuk menjadi seorang guru profesional diperlukan keahlian tinggi dan pengalaman
yang mendukung.
Dari
serangkaian polemik mengenai program PPG yang dipaparkan diatas, dapat ditarik
kesimpulan bahwa sebaiknya program PPG yang dicanangkan pemerintah tersebut dihentikan.
Dapat diyakini apabila pemerintah dapat memaksimalkan kualitas empat tahun proses pendidikan S-1 keguruan seperti yang
telah disinggung sebelumnya, maka program PPG tidak akan lagi diperlukan untuk
mencetak guru-guru professional.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar